Flying Wheel Chair: Kisah Hati dan Harapan dari Masamitsu Sasaki
- Rotary D3410
- Jun 8
- 4 min read

Kursi Roda Kedua, Kasih yang Pertama
Sebuah kisah dari Jepang untuk Indonesia
Di Jepang, ada satu kata yang begitu dalam maknanya: mottainai — jangan sia-siakan apa pun yang masih punya arti. Bukan hanya barang, tapi juga cinta, kenangan, dan niat baik dari hati yang tulus.
Dari kota kecil bernama Omagari di prefektur Akita, seorang Rotarian bernama Masamitsu Sasaki membawa makna mottainai ke dalam kehidupan nyata. Sejak tahun 2020, ia secara rutin mengirim kursi roda bekas ke Indonesia — bukan sekadar logistik, tapi warisan kasih dari mereka yang telah pergi.
Kursi roda itu dulu menemani seseorang di ujung hidupnya. Setelah orang itu berpulang, keluarganya tidak memilih untuk menyimpan atau membuangnya. Mereka memilih untuk melepas — dengan doa dan dengan keyakinan bahwa kasih tidak pernah berakhir, hanya berpindah tempat.
Sebelum dikirim, setiap kursi roda dibersihkan, dicek ulang, diremajakan. Diperlakukan seolah bagian dari keluarga. Karena bagi Sasaki-san, memberi dengan sepenuh hati adalah bentuk paling lembut dari ucapan terima kasih — kepada orang yang telah tiada, dan kepada kehidupan itu sendiri.
Di Indonesia, kursi roda-kursi roda itu menemukan tujuannya yang baru. Beberapa kini berada di Papua, dibagikan oleh relawan yang tak pernah meminta nama mereka disebut. Beberapa ada di Panti Wreda Banyumas, beberapa lagi disalurkan lewat Universitas Jenderal Soedirman. Semua sampai ke tangan yang tepat. Semua melanjutkan tugasnya: menyokong, memeluk, menemani.
Program ini diberi nama Flying Wheel Chair. Tapi ia lebih dari sekadar program. Ia adalah jembatan cinta antara dua bangsa. Jembatan antara yang sudah pergi dan yang masih bertahan. Jembatan antara kehilangan dan harapan baru.
Sasaki-san tidak bekerja sendiri. Ia merangkul para relawan lokal, berkomunikasi langsung dengan komunitas penerima, bahkan berkunjung ke daerah-daerah yang jauh. Karena ia percaya: bantuan yang benar-benar berarti, bukan soal besar kecilnya, tapi soal seberapa dalam ia menyentuh kehidupan.
Dalam satu percakapan bersama Pemimpin District 3410, Daniel, Sasaki-san pernah berkata:
“Rotary adalah keluarga. Jika keluarga kita sudah tiada, tapi alat yang pernah menolongnya bisa membantu orang lain — itu berarti cinta kita belum selesai bekerja.”
Dan memang, di Rotary, cinta tidak pernah pensiun. Bahkan setelah kepergian, kasih tetap bekerja. Bahkan setelah kehilangan, harapan tetap dilanjutkan.
Di dunia yang kadang terobsesi pada angka, panggung besar, dan proyek bernilai fantastis, kisah ini mengingatkan kita:Tak semua proyek khas harus megah untuk membawa perubahan.Kadang, karya yang paling membekas justru lahir dalam diam —menyentuh satu hati, mengubah satu kehidupan, dan meninggalkan jejak yang tak terlupakan.
Mari terus bergerak. Karena selama kasih masih ada, pelayanan tak pernah selesai.
Flying Wheel Chair: A Story of Heart and Hope by Masamitsu Sasaki

Second Wheelchair, First Love
A Story from Japan to Indonesia
In Japan, there’s a word rich with meaning: mottainai — don’t waste anything that still holds value. Not just objects, but also love, memories, and the goodwill of a sincere heart.
From a small town called Omagari in Akita Prefecture, a Rotarian named Masamitsu Sasaki brings mottainai to life. Since 2020, he has regularly sent used wheelchairs to Indonesia — not as cargo, but as a legacy of love from those who have passed on.
These wheelchairs once supported someone at the end of their life. After their passing, the families didn’t choose to store them away or throw them out. Instead, they chose to let go — with prayers, and with the belief that love doesn’t end, it simply finds a new home.
Before being sent, every wheelchair is cleaned, repaired, and carefully restored. Treated as though it belonged to a loved one. Because for Sasaki-san, giving wholeheartedly is the most gentle way to say thank you — to those who came before, and to life itself.
In Indonesia, these wheelchairs have found new purpose. Some are now in Papua, distributed by volunteers who never ask for recognition. Others are in elderly homes in Banyumas, or delivered through Jenderal Soedirman University. Each one arrives in the right hands. Each one continues its mission — to support, to embrace, to accompany.
The program is called Flying Wheel Chair. But it’s more than just a project. It’s a bridge of compassion between two nations. A bridge between the departed and the living. A bridge between loss and renewed hope.
Sasaki-san does not work alone. He partners with local volunteers, speaks directly with recipient communities, and even visits remote areas himself. Because he believes that real impact is not measured by size, but by how deeply it touches lives.
In a conversation with District 3410's Leader, Daniel, Sasaki-san once said:
“Rotary is family. If our loved one has passed, but something that once helped them can now help someone else — that means our love is still at work.”

And indeed, in Rotary, love never retires. Even after loss, kindness keeps moving. Even after goodbye, hope continues.
In a world that often chases numbers, grand stages, and million-dollar projects, this story reminds us:Not every signature project has to be big to make a difference.Sometimes, the most meaningful work is done quietly —touching one heart, changing one life, and leaving a lasting mark.
Let’s keep moving. Because as long as love remains, service never ends.
Comments